Sejarah Test Pack Kehamilan Yang Jarang Orang Tahu


Tahukah kamu bahwa test pack kehamilan saat ini mempunyai nilai akurasi 99% yang mendekati kebenaran mutlak. Lalu bagaimanakah sejarah awal mula sampai menjadi test pack rumahan seperti saat ini. Berikut merupakan sejarah teknologi test pack kehamilan berdasarkan waktu.

Tahun 1350 SM

Salah satu catatan paling awal tentang tes kehamilan berbasis urin ditemukan pada artefak Mesir Kuno. Sebuah papirus menggambarkan tes dimana seorang yang disangka hamil, dites dengan cara mengambil sampel air seninya lalu diuji dengan memanfaatkan  jelai (barley) dan biji gandum (wheat) selama beberapa hari.

Berdasarkan hasil tes urin seorang wanita hamil yang diberi biji gandum dan jelai, jika jelai tumbuh, maka anak laki-laki. Jika biji gandum yang tumbuh, maka itu anak perempuan. Jika keduanya tidak tumbuh, maka wanita itu dinyatakan tidak hamil sama sekali.

Tahun 1920-an

Sejumlah ilmuan dari beberapa negara Eropa, bekerja secara independen yang tidak mempunyai keterikatan pekerjaan atau penelitian satu sama lain, menyatakan bahwa terdapat hormon khusus yang dihasilkan oleh tubuh jika terjadi kehamilan. Hormon ini dikenal dengan nama Human Chorionic Gonadotropin (HCG). Hormon ini hanya ditemukan pada wanita yang sedang hamil saja.

Baca Juga : Manfaat Buah Tin dan Buah Zaitun

Tahun 1960-an

Dua ilmuan yang bernama L Wide dan C A Gemzell melakukan penelitian sebuah "tes penghambatan hemaglutinasi" untuk kehamilan. Tes ini menggunakan sel dalam darah untuk proses pengujian. Cara kerjanya yaitu mencampur HCG murni dengan sampel urin dan antibodi. Jika hasil tes kehamilan positif, sel darah merah akan menggumpal. Akan tetapi, tes ini masih memberikan hasil yang belum akurat, terutama jika digunakan dalam diagnosis dini kehamilan. Selain itu, tes ini juga dapat menyebabkan reaksi silang dengan berbagai obat yang diminum oleh wanita hamil.

Tahun 1990-an

Kemajuan teknologi tes kehamilan semakin meningkat pesat, salah satunya pengembangan jenis antibodi baru dan penggunaan label enzim sebagai pengganti label radioaktif.

Tahun 2003

Otoritas Kesehatan Amerika Serikat (FDA) memberikan izin tes kehamilan bagi masyarakat dengan pemanfaatan teknologi Digital Clearblue Easy, yaitu tes kehamilan yang berupa layar indikator yang menampilkan "hamil" atau "tidak hamil". Dan sampai saat ini, tes yang berbasis Digital Clearblue Easy telah dikenal luas oleh masyarakat di seluruh dunia. 


Referensi : History.niv.gov 


Pemanfaatan Kulit Singkong Sebagai Bahan Baku Bioetanol

Singkong dengan nama ilmiah Manihot utilissima atau ubi kayu termasuk dalam kelas Dicotyledoneae. Di Indonesia, singkong memiliki arti ekonomi terpenting dibandingkan dengan jenis umbi-umbian yang lain. Selain itu kandungan pati dalam singkong yang tinggi sekitar 25 - 30% sangat cocok untuk pembuatan energi alternatif. Bahkan kulit singkong dapat menjadi bahan baku bioetanol.

Komponen kimia kulit singkong adalah sebagai berikut: protein 8,11%, serat kasar 15,20%, pektin 0,22%, lemak kasar 1,44%, karbohidrat 16,72%, kalsium 0,63%, air 67,74% dan abu 1,86% (Akbar dkk, 2013). Pemanfaatan kulit singkong sebagai bahan baku pembuatan bioetanol tentunya lebih menguntungkan, karena kulit singkong merupakan limbah yang dalam pengadaannya tidak memerlukan biaya tinggi.


Proses pembuatan bioetanol meliputi persiapan bahan baku yang berupa proses hidrolisa pati menjadi glukosa, proses fermentasi yang merubah glukosa menjadi etanol dan karbon dioksida, dan pemurnian hasil dengan destilasi. Pemisahan senyawa dengan destilasi bergantung pada perbedaan tekanan uap senyawa dalam campuran. Suhu pada saat tekanan uap cairan sama dengan tekanan uap atmosfer disebut titik didih. Etanol dapat dipisahkan dengan destilasi sederhana, etanol mempunyai titik didih 78,3 oC pada tekanan 1 atm jika didestilasi maka akan menguap dahulu.

Bioetanol merupakan salah satu alternatif pengganti bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil adalah sumber daya tak terbarukan karena pembentukannya memerlukan jutaan tahun. Masa pembentukannya yang sedemikian lama tidak seimbang dengan pengambilannya yang sangat cepat, sehingga termasuk dalam kategori sumber daya tak terbarukan.

Dalam setiap kilogram singkong biasanya dapat menghasilkan 15 – 20% kulit singkong. Kandungan karbohidrat kulit singkong cukup tinggi, sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Pengolahan limbah kulit singkong dapat mengurangi limbah kulit singkong sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup. Dengan demikian, pengolahan limbah kulit singkong diharapkan tidak hanya menjadi upaya pelestarian lingkungan hidup, akan tetapi juga berpotensi menjadi bioetanol sebagai alternatif pengganti bahan bakar fosil yang berguna di masa yang akan datang.